Al-Hajru - Fiqh Muamalah
AL-HAJRU
Disusun untuk memenuhi tugas Fiqh Muamalah
Disusun oleh:
Mafida Dian Aulia
4.42.16.0.15
Refriatika Zuhri
4.42.16.0.
PERBANKAN SYARIAH
POLITEKNIK NEGERI SEMARANG
NOVEMBER 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hanafiyah mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang
berwujud dan dapat disimpan sehingga sesuatu yang tidak berwujud dan tidakdapat
disimpan bukanlah termasuk harta, seperti hak dan manfaat. Harta adalah sesuatu
yang harus dijaga, dan dikelola dengan baik oleh orang yang tepat dan cakap.
Dalam buku karangan Hendi Suhendi disebutkan bahwa
harta memiliki beberapa kedudukan, diantaranya sebagai perhiasan, kebutuhan,
bahkan musuh bagi manusia itu sendiri.
Harta sebagai musuh, maksudnya adalah apabila
seseorang memperoleh harta dan ia tidak mampu pengelolanya dengan baik maka
harta tersebut akan menjadi musuh baginya. Untuk itulah, harta harusnya
diserahkan atau dikelola pada orang-orang yang dianggap cakap dan mampu,baik
dari segi akal maupun tingkat kedewasaan yang ia miliki.
Ketidaktahuan masyarakat umum mengenai siapa saja
yang tidak boleh atau belum boleh mengelola harta inilah yang menjadi latar
belakang kami dalam penulisan makalah berjudul al-Hajr.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan al Hajr?
2. Bagaimana
dasar hokum al-Hajr?
3. Apakah
hikmah dari al-Hajr?
4. Apa
saja macam Al-Hajr?
5. Apakah
penyebab dan akibat al-Hajr?
6. Kapankah
berakhirnya pengampunan (al-Hajr) ?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
yang dimaksud dengan al Hajr
2. Mengetahui
dasar hokum al-Hajr
3. Mengetahui
hikmah dari Al-Hajr
4. Mengetahui
macam al-Hajr
5. Mengetahui
penyebab dan akibat al-Hajr
6. Mengetahui
waktu berakhirnya pengampunan (al-Hajr)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Al-Hajr
Al-Hajr berarti larangan dan penyempitan/pembatasan. Dalam istilah hukum perdata, al-hajr berarti pengampuan. Berkenaan
dengan al-Hajr para ulama membuat definisi.
a.
Larangan
bagi seseorang untuk melaksanakan akad dan bertindak secara hukum terhadap
hartanya. Apabila seseorang yang berstatus dibawah pengampuan melakukan
tindakan hukum terhadap hartanya, seperti jual-beli atau hibah, maka
tindakannya tidak sah.
b.
Larangan
khusus yang berhubungan dengan pribadi tertentu dalam tindakan hukum tertentu
pula.
Berdasarkan definisi kedua ini,
apabila orang yang berada dalam pengampuan melakukan suatu tindakan yang
bersifat ucapan atau pernyataan, maka akad yang dilakukannya itu tidak sah,
kecuali ia mendapat izin dari walinya (pengampunya). Selama yang bersangkutan
masih berstatus pengampuan, segala kegiatan atau tindakan yang berakibat
merugikan harta benda, maka kegiatan itu harus diambil dari hartanya, dan jika
tidak punya harta, diminta kepada wali yang mengampunya. Namun, walaupun
bagaimana hukuman fisik tidak boleh dilakukan kepada orang yang berada dalam
pengampuan.
·
Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan:
“Status hukum yang diberikan
syara’ kepada seseorang sehingga dia dilarang melakukan tindakan hukum di luar
batas kemampuannya atau melakukan suatu tindakan pemindahan hak milik melebihi
sepertiga hartanya”
Mereka berpendapat, bahwa penentuan
seseorang benar dibawah pengampuan didasarkan kepada ketentuan syara’. Orang
yang dilarang melakukan tindakan hukum diluar batas kemampuannya adalah anak
kecil, orang gila, orang dungu, dan orang jatuh pailit. Mereka semua dilarang
melakukan tindakan secara hukum seperti jual-beli atau pemindahan hak milik
lainnya. Apabila melakukan hal itu, maka tindakannya tidak berlaku dengan
sendirinya. Namun, sebagai akibat dari tindakan hukum yang mereka lakukan,
mereka harus mendapat izin dari walinya. Sedangkan orang yang dilarang
memindahtangankan hak miliknya melebihi sepertiga hartanya adalah orang sakit
yang diduga keras penyakitnya tidak akan sembuh lagi, sehingga penyakitnya itu
berakhir dengan kematian.
Segala bentuk jual-beli dari orang
seperti ini tidak dilarang. Tindakan pemindahan hak secara sukarela seperti
hibah, wasiat dan sedekah hanya dibolehkan sampai sepertiga hartanya.
Selebihnya tidak dapat dibenarkan.
·
Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali mendefinisikan al-Hajr
dengan:
“Larangan melakukan tindakan hukum
terhadap seseorang, baik larangan tindakan hukum yang ditujukan kepada anak
kecil, orang gila dan orang dungu, atau muncul dari hakim, seperti larangan
bagi seseorang pedagang untuk menjual barangnya melebihi harga pasar”
·
Sementara dalam Buku Fiqh Muamalah yang ditulis Nasrun
Haroen (2000) menjelaskan mengenai Al Hajr atau Pengampuan, sebagai berikut :
Secara
etimologi, al-hajr berarti larangan, penyempitan dan pembatasan. Hajara
‘alaihi hajran, artinya seseorang dilarang melakukan tindakan hukum.
Dalam al-Qur’an, kata al-Hajr juga digunakan dalam arti akal, karena
akal dapat menghambat seseorang melakukan perbuatan yang berakibat buruk.
Secara terminologi, dijumpai
beberapa definisi al-Hajr yang dikemukakan para ulama fiqh. Akan tetapi,
pada dasarnya, definisi-definisi itu secara substansial adalah sama.
·
Di kalangan ulama Hanafiyah sendiri terdapat dua
definisi, yaitu:
Pertama,
Larangan bagi seseorang untuk
melaksanakan akad dan bertindak hukum terhadap hartanya.
Apabila seseorang yang berstatus di
bawah pengampuan melakukan tindakan hukum dalam bentuk perkataan yang berakibat
kepada hartanya, seperti jual beli atau hibah, maka tindakannya itu tidak dapat
dilaksanakan, serta segala akibat akad itu tidak berlaku, karena akadnya
sendiri tidak sah.
Kedua,
Larangan khusus yang berkaitan
dengan pribadi tertentu dalam tindakan hukum tertentu pula.
Apabila orang yang dalam pengampuan
melakukan suatu tindakan hukum yang bersifat ucapan atau pernyataan, transaksi
yang ia lakukan itu tidak sah, kecuali bila ia mendapatkan izin dari walinya
(yang mengampunya). Apabila orang yang dalam status pengampuan melakukan suatu
tindakan mengakibatkan kerugian harta benda, maka kerugian harta benda, maka
kerugian itu harus diganti dengan hartanya, jika ia punya harta, atau diminta
kepada wali yang mengampunya. Namun, hukuman yang bersifat fisik tidak boleh
dikenakan kepada orang-orang yang berada dalam pengampuan itu.
·
Ulama Malikiyah mendefinisikan al-Hajr dengan:
Status hukum yang diberikan syara’
kepada seseorang sehingga ia dilarang melakukan tindakan hukum diluar batas
kemampuannya, atau melakukan seuatu tindakan pemindahan hak milik melebihi
sepertiga hartanya.
Mereka berpendapat bahwa penentuan
seseorang berada di bawah pengampuannya didasarkan kepada ketentuan syara’. Orang
yang dilarang melakukan tindakan hukum di luar batas kemampuannya, menurut
mereka, adalah anak kecil, orang dungu, orang yang jatuh pailit, dan
sebagainya. Mereka semua dilarang melakukan tindakan hukum seperti jual-beli,
atau melakukan perpindahan hak milik lainnya. Apabila mereka melakukan suatu
tindakan hukum. Maka akibat dari tindakan hukum itu tidak berlaku dengan
sendirinya, sebagaimana yang berlaku bagi orang yang tidak dalam pengampuan,
tetapi akibat hukum tindakan mereka harus mendapat izin dari wali pengampunya.
Sedangkan orang yang dilarang memindahtangankan hak miliknya melebihi sepertiga
hartanya, adalah orang sakit yang diduga keras tidak akan sembuh lagi, sehingga
penyakitnya itu membawa kepada kematiannya (mardh al-maut). Segala
bentuk transaksi jual beli orang seperti ini tidak dilarang. Berkenaan dengan
tindakan pemindahan hak milik secara sukarela, seperti hibah, wasiat, dan
sedekah, hanya diberlakukan dan diperbolehkan sampai sepertiga hartanya.Lebih
dari itu tidka dibenarkan.
·
Kemudian, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah,
mendefinisikan al-Hajr dengan:
Larangan melakukan tindakan hukum
terhadap seseorang, baik larangan itu datangnya dari syara’ seperti larangan
tindakan hukum yang ditujukan kepada anak kecil, orang gila, orang dungu, maupun
muncul dari hakim, seperti larangan bagi seseorang pedagang untuk menjual
barangnya.
2.2 Dasar Hukum
Ulama fiqh menyatakan, bahwa yang
menjadikan dasar hukum untuk menetapkan status seseorang dibawah pengampuan
adalah firman Allah:
"Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya268, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah
kepada mereka kata-kata yang baik." (QS. An-nisa’ [4] : 5)
|
Selanjutnya Allah SWT berfirman:
"Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakan harta
anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara
itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (memakan harta anak yatim itu) dan
barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)." (QS. An-nisa’ [5] : 6 )
|
Juga firman Allah:
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa
kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang
lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah
penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang
demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertaqwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu." (qs> Al-Baqarah [2] : 282)
|
Adapun landasan hukum al-Hajr
dalam sunnah Rasulullah adalah dalam sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasul
SAW pernah menjadikan Mu’az terlilit utang. Rasulullah SAW lalu menjual harta
Mu’az untuk melunasi hutangnya. Demikian pula Rasulullah SAW pernah menjadikan
Usman ibn Affan dalam pengampuannya, karena sikap mubazir yang dilakukan Usman
(HR al-Baihaqi, ad-Daruqothru, dan al-Hakim dari Ka’ab ibn Malik).
“Dari Ka’ab bin Malik: Sesungguhnya
Nabi SAW telah menahan harta Mu’az dan beliau jual hata itu untuk membayar
hutangnya” (HR. Daru-Quthni)
Berdasarkan ayat dan hadis diatas
para ulama menyatakan bahwa al-Hajr itu boleh karena seseorang kurang
akal, seperti anak kecil dan orang gila, atau karena tindakannya merugikan
dirinya sendiri, seperti orang mubazir dan orang bodoh, atau merugikan orang
lain, seperti orang yang jatuh pailit dan mardh al-maut.
2.3 Hikmah al-Hajr
Apabila seseorang dinyatakan dibawah
pengampuan wali atau hakim, tidaklah berarti hak asasinya dibatasi dan
pelecehan terhadap kehormatan dirinya sebagai manusia. Tetapi pengampuan itu
diberlakukan syara’ untuk menunjukan, bahwa syara’ itu benar-benar memperdulikan
orang-orang seperti itu, terutama soal muamalah, syara’ menginginkan agar tidak
ada pihak yang dirugikan atau merugikan orang lain. Dengan demikian, apabila
ada anak kecil, orang gila, dungu dan pemboros, distatuskan dibawah pengampuan,
maka hal itu semata-mata untuk menjaga kemaslahatan diri orang yang
bersangkutan, agar segala kegiatan muamalah yang mereka lakukan tidak sampai
ditipu orang. Demikian juga halnya orang yang jatuh pailit dan orang sakit
berat, tidak dibenarkan bertindak secara hukum yang bersifat pemindahan hak
milik, agar orang lain tidak dirugikan yang masih berhak atas hartanya. Khusus
bagi orang yang sakit keras dikhawatirkan, bahwa pemindahan hak kepada orang
lain akan merugikan ahli waris, sedangkan masa depan anak cucu harus diperhatikan
sebagaimana firman Allah
"Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar." (QS. AN-Nisa’ [4] : 9)
|
2.4 Macam-macam al-Hajr
Dilihat dari segi tujuannya, ulam
fiqh membagi al-Hajr kepada dua bentuk:
1)
Untuk
kemaslahatan orang yang berada dibawah pengampuan, seperti anak kecil, orang
gila, orang dungu, dan pemboros.
2)
Untuk
kemaslahatan orang lain, seperti orang pailit (debitor pailit) dan orang yang
sedang dalam keadaan sakit parah (mardh al-maut).
2.5 Penyebab al-Hajr
Penyebab al-Hajr itu ada yang
disepakati oleh para ulama fiqh dan ada pula yang diperselisihkan.
Penyebab yang disepakati oleh ulama fiqh adalah seperti pengampuan terhadap
anak kecil dan orang gila, karena mereka belum cakap bertindak secara
hukum. Penyebab yang diperselisihkan adalah pengampuan terhadap orang
dungu dan orang berhutang. Pengampuan terhadap mereka bukan karena tidak cakap
melakukan tindakan hukum, tetapi bertujuan untuk menghindarkan orang lain dari
kemudharatan, sebagai akibat dari tindakan mereka dan mencegah terjadi mudharat
pada diri mereka sendiri (orang dungu).
Menurut Siti Hasanah dalam bukunya Fiqh Muamalah Teori & Terapan Buku Ajar
2 bahwa mahjur dapat dilakukan bagi orang-orang tertentu. Sebab-sebab
seseorang dicegah untuk mengelola hartanya sendiri adalah sebagai berikut:
1.
Dibawah umur, maksudnya adalah anak yang belum baligh
atau belum mukallaf, baik karena akalnya belum matang atau karena yang lainnya.
Ia harus diawasi dan dijaga oleh walinya (wakalah) tidak boleh diserahkan
sebelum ia baligh berakal karena dikhawatirkan hartanya akan disia-siakan.
2.
Safih (bodoh), kurang akal, mungkin karena masih
kecil, babal, dungu, atau Karena umurnya yag sudah tua.
3.
Lemah jasmani dan rohani.
Orang yang lemah jasmani dan rohani dengan sendirinya
tidak akan mampu mengurus harta kekayaan jika ia memiliki harta seperti yang
tertuang dalam QS. Al Baqarah [2] : 282).
4.
Hamba (budak).
Seseorang yang menjadi budak tidak lagi berkuasa untuk
mengurus harta sebab ia sendiri dimiliki oleh tuannya dan berarti derajat hamba
(budak) sama dengan derajat harta benda yang dapat dijualbelikan sebagaimana
harta. Sehingga ia tidak berkuasa atas apapun. (QS. An-Nahl [16] : 75
5.
Sakit keras
Sesungguhnya orang yang sakit keras (orag yang diduga
tidak akan sembuh dari sakitnya) tidak berdaya lagi untuk berbuat apa-apa. Bila
ia memiliki harta, harta tersebut berada di bawah kekuasaan para ahli warisnya.
Didalam Al-Que’an diperintahkan bagi seseorang yang mendekati ajal untuk
berwasiat. (QS. Al-Baqarah [2] : 180)
6.
Sedang digadai
Orang yang barangnya sedang digadaikan tidak berkuasa
atas barang-barangnya itu, sebab benda-benda itu merupakan jaminan atas
hutangnya yang diambil oleh orang lain. Benda-benda yang sedang digadaikan
berada dibawah penguasaan orang-orang yang memberinya hutang. Seperti dalam
firman Allah di QS. Al-baqarah [2] :283
7.
Wanita bersuami
Seorang wanita yang mempunyai suami, berada di bawah
pengawasan suaminya, baik diri sendiri, anak-anaknya maupun harta bendanya.
Oleh karena itu wanita tidak berkuasa atau berwenang atas hartanya keciali
harta-harta yang dikhususkan untuknya sendiri.
Dalam
sebuah har=dits yang diriwayatkan oleh Ashab al-Sunan dari Amr bin Syuaib dari
bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah bersabda : “Wanita tidak boleh memberikan sesuatu kecialu atas izin suaminya.”
Dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah bersabda : “Tidak boleh wanita mengurus masalah hartanya
bila suaminya telah memiliki tanggung jawab”
8.
Murtad
Orag yang keluar dari agama Islam atau murtad
terhalang menguasai hartanya sebab ia sendiri berada dalam kekuasaan imarah
Islam. Dia tidak berkuasa atas hartanya karena dia akan menerima hukuman
menurut syariat Islam yaitu hukuman mati atas kesalahan yang dibuatnya yaitu
meninggalkan keimanan kepada Allah swt.
Dari Ibnu
Abbas ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda “Barang siapa yang telah menukar agamanya maka bunuhlah ia” (HR
Bukhari).
9.
Muflis (jatuh bangkrut)
Muflis adalah orag yang jumlah utangnya lebih besar
daripada jumlah hartanya. Dengan demikian semua hartanya berada di bawah pengawasan
orang-orang yang memberikan piutang kepadanya.
Rasulullah
saw bersabda “Siapa yang mendapati hartanya yang asli (belum berubah) pada
orang yang bangkrut maka ia lebih berhak atas barang itu daripada yang lainnya.
(HR Bukhari & Muslim)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa yang berhak atas
penyitaan harta orang yang bangkrut itu adalah yang menghutangkan.
2.6 Akibat hukum
al-Hajr
Sebagai akibat dari orang yang telah
ditetapkan dibawah pengampuan wali atau hakim, adalah:
i.
Al-Hajr terhadap
anak kecil.
Dalam membahas tindakan anak kecil,
ulama Mazhab Hanafi dan Maliki membedakan anak yang belum mumayyiz (belum
memcapai umur tujuh tahun) dengan anak yang sudah mumayyiz (berumur tujuh tahun
keatas).
Menurut Mazhab Hanafi dan Maliki
perbedaan ini sangat penting, karena Rasulullah sendiri dalam sabdanya
mengatakan:
“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan
shalat, ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka karena
meninggalkannya, ketika berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah diantara mereka
itu dari tempat tidurnya” (HR. Ahmad Abu Daud dan al-Hakim)
Dengan demikian ulama Mazhab Hanafi
dan Maliki menyatakan, bahwa anak yang sudah berumur sepuluh tahun termasuk
mumayyiz dan dalam hukum-hukum tertentu mereka telah dituntut untuk
melakukannya. Tindakan hukum anak kecil itu ada yang berupa perbuatan dan ada
pula yang berupa perkataan.
Ulama fiqh menyatakan, bahwa
tindakan anak kecil yang berupa perbuatan seperti merusak barang milik orang
lain, maka statusnya sebagai anak yang berada dibawah pengampuan tidak berlaku,
karena pengampuan berlaku pada perkataan dan bukan pada perbuatan. Setiap
kerugian yang diakibatkan tindakannya itu berupa perkataan atau pernyataan,
jika anak itu belum mumayyiz, maka perbuatan dan perkataannya itu dianggap
batal, baik tindakannya itu menguntungkan maupun merugikan dirinya, karena
dinilai belum cakap melakukan tindakan secara hukum. Apabila anak itu
telah mumayyiz, maka menurut ulama Mazhab Hanafi dan Maliki perlu dibedakan
antara tindakan yang menguntungkan dan merugikan dirinya.
Apabila tindakan itu menguntungkan
seperti menerima sedekah, hadiah, wasiat dan hibah, maka tindakannya dianggap
sah, tanpa persetujuan dari walinya. Namun, apabila tindakannya itu merugikan
dirinya seperti memberi pinjaman kepada orang lain, maka tindakannya itu
dianggap tidak sah, walaupun ada persetujuan dari walinya.
Ulama Mazhab Hanafi mengecualikan
hukum tindakan anak mumayyiz yang merugikan tersebut. Menurut mereka apabila
wali mengizinkan, maka tindakannya itu dianggap sah.
Apabila tindakan anak mumayyiz
antara merugikan dan menguntungkan bagi dirnya seperti jual beli, dan sewa
menyewa, maka ulama Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa tindakannya itu
sah, apabila mendapat persetujuan walinya. Namun, menurut Mazhab Syafi’i dan
Hambali, tindakan anak kecil (yang bersifat spekulatif), baik sudah mumayyiaz
(yang tidak bersifat spekulatif=untung-untungan) dapat dibenarkan apabila
mendapat persetujuan dari walinya.
Akibat lain anak kecil yang berada
dibawah pengawasan wali, bahwa harta anak kecil itu tidak boleh diserahkan
kepada mereka, karena firman Allah yang disebutkan dalam Surat An-Nisa: 6 yang
telah disebutkan terdahulu.
Menurut ulama fiqh, harta anak kecil
itu baru boleh diserahkan kepada mereka setelah anak itu baligh (dewasa) dan
cerdas. Hal ini tentu dapat diamati oleh wali, apakah sudah pantas diserahkan
atau belum. Sebab, adakalanya belum tentu cerdas atau mampu memelihara dan
mengembangkan hartanya.
Menurut ulama Mazhab Syafi’i, yang
menjadi ukuran adalah ketrampilan dan kemampuannya terhadap agama. Apakah anak
itu sudah baligh dan cerdas, maka status anak itu dibawah pengampuan sudah
hilang dengan sendirinya, tanpa ada penetapan dari hakim, karena penetapan
mereka dibawah pengampuan juga bukan pengampuan dari hakim. Namun, menurut satu
riwayat dari Mazhab Syafi’i, perlu ada penetapan dari hakim, yaitu pencabutan al-Hajr.
Dengan demikian, peranan wali dalam hal ini sangat penting, termasuk mengenai
persoalan hak anak itu. Segala tindakan yang berhubungan dengan harta anak itu,
harus didasarkan atas kemaslahatan anak itu sendiri.
Apabila wali anak itu orang kaya
(berada), dia tidak boleh mengambil nafkahnya dari harta anak itu. Sekiranya
tidak punya maka dapat mengambil sekedarnya untuk menutupi keperluan
sehari-hari. Menurut ulama fiqh, ayat ini menjelaskan bahwa penyerahan harta
kepada anak kecil itu apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu cukup umur
(baligh) dan cerdas. Sebelum kedua syarat itu terpenuhi, maka wali tidak boleh
menyerahkan harta anak itu padanya. Untuk menyatakan anak itu telah baligh atau
belum, para ulama fiqh mengatakan boleh dilihat dari beberapa indikasi, seperti
segi umur atau dari segi tanda-tanda biologisnya, seperti mimpi, haid,
hamil. Sedangkan untuk menilai anak itu apakah ia sudah cerdas atau belum,
menurut jumhur ulama, harus senantiasa diuji dalam membelanjakan hartanya.
Apabila ia telah terampil mengelola harta sendiri, dalam artian tidak merugikan
dirinya lagi, maka ia dianggap cerdas. Akan tetapi, menurut ulama Syafi’iyah,
yang menjadi ukuran itu adalah keterampilan dalam mengelola harta dan
komitmennya terhadap agamanya. Apabila ternyata anak itu telah baligh dan
cerdas, sesuai dengan kriteria baligh dan cerdas yang dikemukakan para ulama
diatas, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa status dibawah pengampuannya
hilang dengan sendirinya,tanpa harus ditetapkan hakim; karena penetapan mereka
dibawah pengampuan bukan melalui ketetapan hakim, maka pencabutan al-Hajr
bagi mereka pun tidak perlu melalui ketetapan hakim. Akan tetapi, satu riwayat
dari ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa perlu adanya ketetapan hakim. Apabila
anak itu belum memenuhi kedua syarat diatas, maka wali anak itu tidak boleh
menyerahkan harata itu kepada anak itu dan yang bertindak sebagai pengelola dan
pemelihara harta itu adalah walinya, dan pengelolaan terhadap harta itu harus
senantiasa bertitik tolak pada kemaslahatan anak itu. Akan tetapi, bila wali
itu orang miskin, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa wali boleh mengambil
nafkahnya dari harta anak itu, sesuai dengan keperluan sehari-hari.
ii.
Al-Hajr terhadap
orang gila.
Para ulama fiqh membedakan orang
gila yang sifatnya permanen (tidak sembuh-sembuh) dan orang gila yang
sewaktu-waktu saja kambuh, pada satu saat dia gila dan pada saat lain dia
sembuh.
Orang gila dalam bentuk pertama
disamakan dengan orang yang tidak berakal sama sekali. Dengan demikian,
tindakan mereka secara hukum sama dengan anak kecil yang belum mumayyiz. Semua
tindakannya dianggap tidak sah.
Orang gila dalam bentuk kedua, harus
dilihat lebih dahulu keadaannya. Apabila ia bertindak secara hukum pada saat
dia gila (kambuh), maka tindakannya itu tidak sah, seperti bersedekah,
menghibahkan harta atau mewakafkannya. Tetapi apabila ia bertindak pada saat
sehat (tidak gila), maka tindakannya dianggap sah, karena dia benar-benar dalam
keadaan sadar.
iii.
Al-Hajr terhadap
orang bodoh/dungu
Ulama fiqh menyatakan bahwa
termasuk kedalam kelompok orang bodoh/ dungu adalah orang yang
menghambur-hamburkan uangnya (boros) untuk hal-hal yang dilarang oleh agama seperti
membeli minuman keras, berjudi, dan untuk kepentingan berdagang, tetapi tidak
mengerti seluk-beluk dagang itu, sehingga sering ditipu orang. Tindakan yang
amat bodoh/dungu adalah menghabiskan harta untuk pemuas nafsu seksual.
Apabila ditemukan orang seperti ini,
maka menurut pendapat ulama, kepada orang itu dikenakan al-Hajr melalui
ketetapan hakim. Seluruh tindakan yang dapat merugikan dirinya dianggap batal,
seperti berwakaf, bersedekah, dan hibah. Berkenaan dengan nafkah dan talak,
untuk menetapkan sah atau tindakan, sangat bergantung kepada penetapan hakim,
apakah membawa maslahat pada dirinya atau mudharat.
Dikalangan ulama Mazhab Hanafi
terjadi perbedaan pendapat.
Imam Abu Hanifah mengatakan, bahwa
apabila orang yang bodoh itu telah baligh dan berakal (berakal tetapi boros dan
memperturutkan hawa nafsu), maka tindakan hukumnya dianggap sah, kendatipun
tindakannya itu merugikan dirinya sesuai dengan firman Allah Surat An-Nisa: 6
yang telah disebutkan di atas.
Ulama Mazhab Hanafi lainnya, yaitu
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, bahwa orang yang bodoh atau
dungu berada dibawah pengampuan berdasarkan ketetapan hakim untuk kemaslahatan
mereka sendiri. Mereka beralasan kepada firman Allah yang disebutkan dalam
surat An-Nisa: 5 yang telah disebutkan di atas.
iv.
Al-Hajr terhadap
orang yag sakit kritis (mardh al-maut)
Orang yang sakit kritis yang diduga
keras penyakitnya akan membawa kematiannya, sesuai dengan pendapat dokter, maka
para ulama menyatakan, bahwa orang itu dapat ditetapkan berada dibawah
pengampuan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak ahli warisnya. Sebab, ada
saja orang yang menyerahkan hartanya kepada orang lain pada saat kritis, tanpa
memperhatikan ahli waris yang ditinggalkan.
Bahkan Mazhab Maliki mengatakan,
bahwa orang yang sudah dijatuhi hukuman mati, orang yang berada dibawah
pertempuran dan wanita hamil sembilan bulan, disamakan dengan orang yang sakit
kritis. Hal ini berarti bahwa mereka tidak dibenarkan bertindak secara hukum,
karena berada dalam pengampuan.
Tindakan hukum yang dianggap tidak
sah, adalah pemindahan hak milik tanpa ganti rugi, seperti wakaf, wasiat
(melebihi sepertiga hartanya), hibah dan sedekah.
Andaikata orang yang sakit kritis
itu telah mengadakan tindakan-tindakan secara hukum pemindahan hak milik kepada
pihak lain dan ternyata kemudian dia sembuh maka tindakannya itu dianggap sah
menurut hukum.
v.
al-Hajr terhadap
orang pailit
Ulama fiqh menyatakan, bahwa
seseorang yang dinyatakan pailit, apabila ia terlilit hutang sedangkan harta
bendanya tidak mencukupi untuk melunasi seluruh hutangnya. Ulama fiqh
berbeda pendapat, apakah kepada orang itu dikenakan al-Hajr atau tidak?
Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa
orang yang pailit tidak dikenakan al-Hajr, karena merendahkan status
mereka sebagai manusia bebas dan mengekang hak asasi mereka. Menurut Abu
Hanifah, mudharat yang dialami orang itu lebih berat dari mudharat yang dialami
kreditor. Oleh sebab itu, bahwa seluruh tindakan orang pailit, baik yang brsifat
pemindahan hak dengan ganti rugi maupun tanpa ganti rugi dianggap sah.
Hak hakim satu-satunya adalah
memerintahkan untuk memprioritaskan pembayaran hutang-hutangnya pada orang
lain. Bila dia enggan membayar hutangnya, maka dia dapat dipenjarakan (hukuman
badan), sampai ia melunasi hutang-hutangnya.
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani dan Jumhur ulama berpendapat bahwa orang pailit (debitor pailit)
dapat dikenakan status hukumnya dibawah pengampuan. Dengan demikian dia tidak
dibenarkan bertindak secara hukum yang bersifat pemindahan hak milik
(hartanya). Sebagai alasan mereka adalah tindakan Rasulullah terhadap Mu’az bin
Jabal yang dililit hutang. Jumhur ulama berpendapat bahwa status
seseorang yang pailit berada dibawah pengampuan adalah berdasarkan penetapan
hakim. Dengan demikian, apabila dia mengadakan tindakan hukum sebelum ada
penetapan dari hakim (pengadilan), maka tindakannya itu dianggap sah.
Menurut ulama Mazhab Maliki
seseorang yang pailit baru dikenakan status hukumnya dibawah pengampuan,
setelah ada pengaduan dari kreditor dan kemudian mendapat penetapan dari hakim.
Hakim dalam persoalan ini mempuanyai wewenang untuk memenjarakan orang tersebut
dan menjual hartanya untuk pembayaran hutangnya.
Setelah seseorang dinyatakan pailit
dan berada dibawah pengampuan, maka akibatnya:
1)
Ia dilarang
melakukan tindakan hukum terhadap hartanya, kecuali untuk keperluan hidupnya.
2)
Ia boleh
dipenjarakan untuk menjaga keselamatan dirinya, karena ada kemungkinan di luar
penjara, jiwanya terancam. Untuk memenjarakan orang pailit harus memenuhi
ketentuan:
a.
Hutangnya
itu bersifat mendesak untuk dibayar.
b.
Ia mampu
membayar hutang, tapi enggan membayarnya.
c.
Para
kreditor menuntut kepada pengadilan (hakim) untuk memenjarakannya.
3)
Hartanya
dijual untuk membayar hutang-hutangnya
4)
Harta orang
lain yang masih ada ditangannya harus dikembalikan kepada pemiliknya
5)
Sekiranya
dia tidak dipenjarakan, maka dia harus diawasi secara terus menerus (Abu Hanifah,
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani). Sedangkan menurut Jumhur ulama
tidak perlu ia diawasi secara terus menerus, karena akan menghambat geraknya
untuk mencari rezeki guna melunasi hutangnya (perhatikan kembali surat
al-Baqarah: 280)
2.7 Berakhirnya
Status Pengampuan
Apabila anak kecil sudah baligh dan
berakal, orang bodoh/dungu sudah cerdas dan sadar, pemboros sudah mulai hemat
dan tidak lagi melanggar agama, orang gila menjadi sembuh dan orang yang sakit
kritis meninggal atau sembuh kembali, maka berakhirlah masa pengampuan.
Khusus bagi orang yang pailit, dia baru bebas dari status hukum pengampuan
setelah dia lunasi hutang-hutangnya.
Hendaknya diingat, bahwa apabila
al-Hajr (pengampuan) ditentukan berdasarkan penetapan hakim, maka pencabutannya
juga harus demikian supaya mempunyai kekuatan hukum. Apabila pengampuan itu
berada dibawah kekuasaan wali, maka walilah yang dapat mempertimbangkannya.
Selanjutnya mengenai pencekalan yang
disebutkan di atas seperti dokter dan seterusnya, pencabutannya juga harus
berdasarkan penetapan dari hakim dengan berbagai pertimbangan yang tentu saja
tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-hajr adalah larangan
untuk memberikan harta kepada seseorang yang dirasa belum bisa atau belum mampu
mengelola harta itu dengan baik. Ada beberapa alasan mengapa seseorang
dikatakan tidak bisa mengelola harta; diantaranya karena ia adalah anak kecil, orang gila, orang
dungu, dan orang jatuh pailit. Mereka semua dilarang melakukan tindakan secara
hukum seperti jual-beli atau pemindahan hak milik lainnya. Apabila melakukan
hal itu, maka tindakannya tidak berlaku dengan sendirinya. Namun, sebagai
akibat dari tindakan hukum yang mereka lakukan, mereka harus mendapat izin dari
walinya. Sedangkan orang yang dilarang memindahtangankan hak miliknya melebihi
sepertiga hartanya adalah orang sakit yang diduga keras penyakitnya tidak akan
sembuh lagi, sehingga penyakitnya itu berakhir dengan kematian.
Adapun landasan hukum
al-Hajr dalam sunnah Rasulullah adalah dalam sebuah riwayat yang
menyatakan bahwa Rasul SAW pernah menjadikan Mu’az terlilit utang. Rasulullah
SAW lalu menjual harta Mu’az untuk melunasi hutangnya. Demikian pula Rasulullah
SAW pernah menjadikan Usman ibn Affan dalam pengampuannya, karena sikap mubazir
yang dilakukan Usman (HR al-Baihaqi, ad-Daruqothru, dan al-Hakim dari Ka’ab ibn
Malik).
Berdasarkan ayat dan
hadis diatas para ulama menyatakan bahwa al-Hajr itu boleh.
Apabila seseorang
dinyatakan dibawah pengampuan wali atau hakim, tidaklah berarti hak asasinya
dibatasi dan pelecehan terhadap kehormatan dirinya sebagai manusia. Tetapi
pengampuan itu diberlakukan syara’ untuk menunjukan, bahwa syara’ itu
benar-benar memperdulikan orang-orang seperti itu, terutama soal muamalah,
syara’ menginginkan agar tidak ada pihak yang dirugikan atau merugikan orang
lain. Dengan demikian, apabila ada anak kecil, orang gila, dungu dan pemboros,
distatuskan dibawah pengampuan, maka hal itu semata-mata untuk menjaga
kemaslahatan diri orang yang bersangkutan, agar segala kegiatan muamalah yang
mereka lakukan tidak sampai ditipu orang. Demikian juga halnya orang yang jatuh
pailit dan orang sakit berat, tidak dibenarkan bertindak secara hukum yang
bersifat pemindahan hak milik, agar orang lain tidak dirugikan yang masih
berhak atas hartanya. Khusus bagi orang yang sakit keras dikhawatirkan, bahwa
pemindahan hak kepada orang lain akan merugikan ahli waris, sedangkan masa
depan anak cucu harus diperhatikan sebagaimana yang tertuang dalam QS. AN-Nisa’
[4] : 9
Dilihat dari segi
tujuannya, ulam fiqh membagi al-Hajr kepada dua bentuk: Untuk
kemaslahatan orang yang berada dibawah pengampuan dan untuk kemaslahatan orang lain.
Penyebab al-Hajr
itu ada yang disepakati oleh para ulama fiqh dan ada pula yang diperselisihkan
Ada beberapa akibat hukum al-Hajr:
1.
Al-Hajr terhadap anak kecil.
2.
Al-Hajr terhadap orang gila.
3.
Al-Hajr
terhadap orang bodoh/dungu
4.
Al-Hajr terhadap orang yag sakit kritis (mardh
al-maut)
5.
al-Hajr terhadap orang pailit
•
Al-Hajr bisa berakhir Apabila anak kecil sudah baligh dan berakal,
orang bodoh/dungu sudah cerdas dan sadar, pemboros sudah mulai hemat dan tidak
lagi melanggar agama, orang gila menjadi sembuh dan orang yang sakit kritis
meninggal atau sembuh kembali, maka berakhirlah masa pengampuan. Khusus
bagi orang yang pailit, dia baru bebas dari status hukum pengampuan setelah dia
lunasi hutang-hutangnya.
B. Daftar Pustaka
·
Advokat-rgsmitra.com, Hukum
Badan Pribadi dan Keluarga, http://www.geocities.com/pengacara_rgs/hukum_pribadi_dan_keluarga_xxv_xi_mm... akses tanggal 26 November 2016
·
Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, Buku Pertama : Orang,
·
Hasan, M. Ali, 2004. Berbagai
Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat). Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada,
·
Haroen, Nasrun. 2000. Fiqh
Muamalat, Jakarta: Gaya Media Pratama.
·
Susidarto, Urgensi
Pengawasan Bank Proaktif, Belajar dari Kasus Bank Lippo, Harian Umum Suara
Merdeka, Senin, 10 Maret 2003
·
Wimar
Witolar, Tugas Tim Dokter Belum Final, Asal-Usul, Kompas, Minggu 1
Oktober 2000
·
Skh. Kompas, Berawal dan
Berakhir dari Titik Start, Selasa, 25 April, 2000
·
Ahmad Taufan Damanik. 2007. Partisipasi Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak,Jakarta:
KKSP Right Education and Information
centre.
·
Hasanah,
Siti. Tanpa tahun terbit. Fiqh Muamalah Teori & Terapan jilid 2
·
Azhar,
Ahmad Basyir. 2000. Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam). Yogyakarta:
UII Press Yogyakarta,
C. Kritik dan Saran
Komentar
Posting Komentar